makhlukhidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam 3. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku terkait dengan materi aduan yang bukan merupakan pengaduan pencemaran dan
- Keberadaan lingkungan hidup memengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Lingkungan hidup yang terjaga dengan baik akan membawa kebaikan pula bagi setiap makhluk hidup di dalamnya. Dalam konsep lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dengan tingkah lakunya. Lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi lingkungan hidup alamiah dan lingkungan hidup buatan binaan. Lingkungan hidup alamiah merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan, makhluk hidup, dan komponen-komponen abiotik lainnya, yang terbentuk tidak melalui campur tangan manusia. Contohnya lingkungan hidup ini adalah hutan primer. Komponen-komponen dalam lingkungan hidup alamiah akan saling berinteraksi. Interaksi tersebut akhirnya membentuk sebuah ekosistem. Menurut buku IPS 2 Kelas VIII Kemdikbud 2009, ekosistem yaitu satu kesatuan lingkungan hidup yang membentuk suatu wilayah. Dalam ekosisten terdapat lingkungan hayati, non-hayati, hingga lingkungan buatan mau pun lingkungan sosial. Komponen lingkungan hidup alamiah bisa mengalami pergantian akibat pengaruh alam seperti gempa bumi, kebakaran, dan sebagainya. Namun, umumnya pergantian tersebut selalu membentuk komunitas yang stabil. Sementara itu, lingkugan hidup buatan adalah lingkungan hidup alamiah yang telah didominasi kedatangan manusia. Kemunculannya disebabkan kebutuhan hidup manusia akibat lonjakan jumlah penduduk, sehingga diperlukan pengubahan pada lingkungan hidup alamiah. Dampak dari lingkungan hidup buatan yaitu hadirnya limbah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan berdampak pada manusa itu sendiri. Unsur-unsur lingkungan hidup Lingkungan hidup memiliki tiga unsur atau komponen yang terdiri dari komponen biotik, abiotik, dan sosial budaya. Komponen biotik yaitu komponen makhluk hidup di suatu lingkungan. Komponen ini disebut pula sebagai hayati. Komponen biotik terdiri atas tumbuhan, hewan, manusia, hingga mikroorganisme. Semua bentuk makhluk hidup masuk dalam komponen ini. Mereka saling berinteraksi dengan sesamanya di lingkungan yang menjadi tempat hidupnya. Sementara itu, komponen abiotik adalah komponen yang berupa benda mati. Macamnya terdiri atas tanah, udara, air, susu, udara, sinar matahari, mineral, dan kadar garam. Fungsi komponen ini sebagai media untuk menunjang kelangsungan makhluk hidup di suatu lingkungan. Komponen lingkungan hidup terakhir adalah sosial budaya. Sosial budaya turut menjadi pembentuk unsur lantaran perilaku manusia sangat berpengaruh pada lingkungan hidup. Dengan sosial budaya, manusia dapat memenuhi hajat hidupnya dan mempermudah berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh dari unsur sosial budaya ini tampak dari penciptaan pakaian tebal untuk daerah dingin dan pakaian tipis di daerah panas. Melalui cara ini, manusia dapat berinteraksi dengan lingkungan alam tanpa mengalami hambatan. Bentuk kerusakan lingkungan hidup Dalam buku IPS Kelas VIII Kemdikbud 2010 disebutkan, lingkunan memiliki peran penting dalam kehidupan. Lingkungan dapat menjadi tempat tinggal dan sumber kehidupan. Namun, peran tersebut akan mengalami ketidakseimbangan tatkala lingkungan mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut yang muncul dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan penyebabnya, yaitu 1. Kerusakan lingkungan hidup oleh faktor alamKerusakan ini muncul karena peristiwa yang disebabkan oleh alam. Misalnya yaitu gunung meletus, abrasi, angin tornado, gempa bumi,tsunami, dan sebagainya. Pada letusan gunung berapi, contohnya, semakin kuat letusannya maka akan membuat kerusakan lingkungan yang cukup parah. Pada kasus tanah longsor, sering kali membuat pemukiman hancur atau lahan pertanian hilang. Begitu pula pada gempa bumi, semakin kuat getarannya maka kerusakan makin meluas. 2. Kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan dibandingkan dengan faktor alam, kerusakan lingkungan karena kegiatan manusia jauh lebih besar. Manusia dengan segala aktivitas tidak jarang membuat kondisi lingkungan hidup tidak lagi seimbang. Seperti pada kehadiran industri di sebuah wilayah, tidak jarang membuat lingkungan di sekitarnya tercemar. Belum lagi di perkotaan, kondisi air, tanah, hingga udara banyak yang tercemar. Penggunaan alat transportasi membuat kadar karbondioksida meningkat. Lahan-lahan serapan air pun makin menipis di perkotaan karena dialih fungsi menjadi bangunan permanen. Berbagai jenis kerusakan akibat ulah manusia di antaranya yaitu kerusakan lingkungan tanah, kerusakan lingkungan hutan, kerusakan lingkungan laut, kerusakan lingkungan kota, kerusakan lingungan desa, dan kerusakan lingkungan juga Mengenal Tanda-tanda Kelelahan Mental & Emosional Saat Pandemi Apa Itu Karet Alami dan Sintesis Kenali Jenis hingga Sifatnya Kenali 4 Kategori Gejala COVID-19 dan Cara Penanganannya - Pendidikan Kontributor Ilham Choirul AnwarPenulis Ilham Choirul AnwarEditor Maria Ulfa Menjagakelestarian lingkungan hidup adalah tugas dari seluruh umat manusia di muka bumi ini, karena lingkungan yang baik dan sehat serta berkualitas merupakan hak setiap warga negara Indonsia. Namun masih saja ada orang-orang yang melakukan pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup.Kerusakan lingkungan adalah kerusakan terhadap komponen lingkungan seperti udara dan tanah yang kemudian dapat memicu punahnya makhluk hidup yang ada di dalam lingkungan tersebut.. Kerusakan lingkungan dapat terjadi secara alami maupun sebagai akibat perbuatan manusia. Kerusakan alam yang disebabkan oleh perbuatan manusia adalah penebangan hutan, penangkapan ikan secara besar-besaran, dan pengendalian hama menggunakan pestisida. Tindakan tersebut dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perusakan lingkungan akibat ulah manusia adalah dengan pelestarian hutan dan reboisasi. Dengan demikian, pilihan jawaban yang tepat adalah C.
masalahmasalah global yang membahayakan kehidupan makhluk hidup. yang bukan merupakan haknya. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat pembahasan ini adalah: 1. Tindak pidana perusakan berdasarkan pasal 406 KUHP. 2. Tindak pidana perusakan ditinjau dari hukum pidana Islam. To ensure environmental sustainability, environmental management must be supported by the enforcement of environmental law through litigation process, whether on criminal, civil, or administrative aspects. In Indonesia, there are numerous cases of environmental losses, as well as examples of environmental damage that have been attempted on the court of mandalawangi, natural kallista and sungailiat cases. The purpose of this research is to find out the extent of court decisions’s consistencies on environmental cases Using normative legal research method, this research examined three court decisions form two different types of court, which are criminal court Sungai Liat case and civil court Mandalawangi case and Kalistas case. It was found that these judicial decisions show inconsistencies. This condition may weaken the enforcement of environmental law in Indonesia. On the other hand, this difference in judgments may be apprehended as a new standpoint of environmental law in Indonesia. Keberlangsungan pengelolaan lingkungan hidup harus ditunjang dengan penegakan hukum lingkungan, baik melalui jalur peradilan maupun luar peradilan, baik yang bersifat perdata, pidana, maupun administrasi. Penelitian ini mengkaji tiga kasus lingkungan hidup yang diselesaikan melalui peradilan pidana dan perdata, yaitu Kasus Mandalawangi, Kasus Kallista Alam dan Kasus Sungailiat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui problematika penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia, dan untuk mengetahui dampak dari konsistensi putusan hakim dalam perkara lingkungan di Indonesia yang berbeda-beda. Untuk mencapai tujuan tersebut, ketiga putusan hakim tersebut di atas dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitin menunjukkan bahwa ketiga kasus tersebut diputuskan secara berbeda. Inkonsistensi tersebut dapat menjadi faktor pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Namun di samping itu dapat dimaknai sebagai suatu pandangan baru terhadap ketentuan lingkungan hidup di Indonesia. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan – ISSN 1978-8312 p, 2657-2125 e Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi KONSISTENSI PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA KERUGIAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Sri Wahyuni1, Arum Nur Rahmawati2, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika4, Sapto Hermawan5 1, 2, 3, 4,5Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Indonesia Corresponding Author swyuni Abstract To ensure enviromental sustainability, environmental management must be supported by the enforcement of environmental law through litigation process, whether on criminal, civil, or administrative aspect. In Indonesia, there are numerous cases of environmental losses, as well as examples of environmental damage that have been attempted on the court of mandalawangi, natural kallista and sungailiat cases. The purpose of this research is to find out the extent of court decisions’s concistencies on environmental cases Using normative legal research method, this research examined three court decisions form two different types of court, which are criminal court Sungai Liat case and civil court Mandalawangi case and Kalistas case. It was found that these judicial decisions show inconsistencies. This condition may weaken the enforcement of environmental law in Indonesia. On the other hand, this difference in judgments may be apprehended as a new standpoint of environmental law in Indonesia. Keywords environmental damages, judgement consistency, environmental sentence Abstrak Keberlangsungan pengelolaan lingkungan hidup harus ditunjang dengan penegakan hukum lingkungan, baik melalui jalur peradilan maupun luar peradilan, baik yang bersifat perdata, pidana, maupun administrasi. Penelitian ini mengkaji tiga kasus lingkungan hidup yang diselesaikan melalui peradilan pidana dan perdata, yaitu Kasus Mandalawangi, Kasus Kallista Alam dan Kasus Sungailiat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui problematika penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia, dan untuk mengetahui dampak dari konsistensi putusan hakim dalam perkara lingkungan di Indonesia yang berbeda-beda. Untuk mencapai tujuan tersebut, ketiga putusan hakim tersebut di atas dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitin menunjukkan bahwa ketiga kasus tersebut diputuskan secara berbeda. Inkonsistensi tersebut dapat menjadi faktor pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Namun di samping itu dapat dimaknai sebagai suatu pandangan baru terhadap ketentuan lingkungan hidup di Indonesia. Kata-kata Kunci kerugian lingkungan hidup; konsistensi putusan hakim; putusan perkara lingkungan hidup. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 82 Pendahuluan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan sistem kenegaraan, Pemerintah Indonesia memiliki peran penting dalam melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, memiliki kewenangan dalam membuat norma hukum dan peraturan mengenai pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yang diharapkan dapat menyelaraskan, menyerasikan, dan menyeimbangkan antara kehidupan manusia dan lingkungannya. Namun seiring dengan ber-jalannya waktu, pemanfaatan lingkungan hidup menimbulkan berbagai masalah. Manusia menjadi pihak yang memiliki andil besar dalam kerusakan lingkungan. Manusia yang terus berkembang serta didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi sering melakukan pembangunan tanpa memperhatikan aspek kese-imbangan lingkungan dan lebih mementingkan aspek ekonomi, yang mana dapat menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Pada da-sarnya hakekat suatu lingkungan hidup adalah kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Dalam hal ini mencakup tata dan nilai untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup, sumber daya alam dan keadilan sosial bagi kehidupan manusia atas hak atas lingkungan yang sehat. Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek, dikelola untuk ke-hidupan berkelanjutan bukan hanya untuk pertumbuhan dalam pengelolaan lingkungan hidup ini dapat terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan hidup dapat mengakibatkan perubahan sifat-sifat dan unsur-unsur dari lingkungan yang berakibat pada peran dan arti penting lingkungan hidup bagi kehidupan menjadi terganggu, bahkan tidak berfungsi lagi dan akan menimbulkan kerusakan lingkungan lingkungan hidup merupakan kerugian yang timbul akibat pencemaran atau perbuatan perusakan lingkungan sekitar yang dilakukan yang berkaitan dengan hak milik publik sehingga mengganggu kelangsungan hidup makhluk hidup disekitarnya. Jika dilihat saat ini, kondisi lingkungan hidup “Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Ten-tang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” 2009. Sapto Hermawan, Wida Astuti, “Penggunaan Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut Indonesia,” Bina Hukum Lingkungan 5, No. 2 2021 237–261, Muhammad Amin Hamid, “Hidup Dalam Menanggulangi” 6 88–117. Sutiyanti Juanda, “Representasi Kerusakan Lingkungan Di Indonesia Dalam Puisi Media Daring Indonesia Kajian Ekokritik,” 3, no. 2 2016 98–107. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 83 sungguh sangat memprihatinkan, bahkan telah membahayakan hidup serta kehidupan makhluk hidup untuk generasi masa sekarang dan yang akan datang. Terkait dengan berbagai kasus mengenai kerugian lingkungan yang terjadi maka perlu menjamin kepastian hukum lingkungan sebagai upaya penegakan hukum guna menanggulangi permasalahan lingkungan hidup, hal ini dapat dil-akukan melalui pengawasan dan penerapan secara administrasi, keperdataan, dan kepidanaan agar dapat menimbulkan kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku. Aturan perundang-undangan secara menyeluruh digunakan sebagai penunjang penegakan hukum, dan sangat terikat dengan kualitas penegak hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan terdapat 3 tiga cara sistematis dalam penegakan hukum, yaitu dapat dilakukan penegakan hukum secara administratif, melalui pengadilan dan penyidikan atas tindak pidana yang dikhususkan dalam lingkup lingkungan hidup atau penyelesaian suatu kasus atau sengketa di luar pengadilan. Namun penegakannya masih menghadapi problematika, sehingga membutuhkan perhatian lebih demi menjaga keadaan lingkungan yang merupakan sumber utama keberlangsungan hidup manusia. Jika usaha yang dilakukan di luar pengadilan tidak berhasil maka dapat dilakukan dengan jalur pengadilan. Penyelesaian konflik di pengadilan memerlukan konsistensi putusan hakim, karena inkonsistensi putusan dapat menjadi suatu alasan melemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Beberapa literatur telah membahas mengenai putusan pengadilan kasus lingkungan, diantaranya yaitu artikel yang ditulis oleh Anindita, mengupas tentang besaran ganti kerugian untuk perkara lingkungan yang lebih adil dan proporsional. Dalam kesimpulan artikel tersebut, penulis mendorong kuat dibentuknya peradilan khusus yang membahas isu lingkungan hidup. Kajian berikutnya dikemukakan oleh Parlina, di mana dalam artikelnya menjelaskan urgensi gugatan kelompok atau gugatan warga negara dalam perkara Mandalawangi. Berikutnya yaitu hasil riset Imamulhadi yang menjelaskan pentingnya putusan hakim yang memihak terhadap upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan. Namun demikian, artikel-artikel tersebut belum meng-analisis secara khusus perkara-perkara yang dijadikan objek penulisan. Untuk itu, tulisan ini ditujukan untuk mendalami konsistensi putusan-putusan hakim Ibid, Sri Laksmi Anindita, “Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup,” Jurnal Hukum Acara Perdata 3, No. 2 2017 331-350. Nurasti Parlina, “Penerapan Class Action di Indonesia Studi Kasus Putusan Nomor 1794 K/PDT/2004,” Jurnal Poros Hukum Padjadjaran 2, No. 2 2021 237-252. Imamulhadi, “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan,” Mimbar Hukum 25, No. 3 2013 417-432. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 84 atas perkara-perkara landmark kerusakan lingkungan di beberapa tahun terakhir yaitu perkara Mandalawangi, Kalista Alam dan Sungailiat. Kasus pertama, yaitu Mandalawangi, terjadi pada tahun 2003 antara penggugat yaitu warga Kecamatan Kadunggora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat dan ter gugat Perum Perhutani. Gugatan berbentuk class action ini dilakukan setelah terjadinya bencana longsor dan banjir yang menimbulkan kerugian cukup besar bagi warga. Tergugat dianggap secara langsung maupun tidak langsung telah mengubah sifat fisik lingkungan hutan menjadi tidak ber-fungsi sebagai mana mestinya, melakukan perubahan tata guna lahan hutan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Para tergugat berdalih bahwa longsor terjadi karena faktor bencana alam. Akan tetapi penolakan ter-sebut tidak dapat diterima mengingat tidak terpenuhinya persyaratan untuk suatu kejadian lingkungan merupakan bencana alam. Upaya hukum yang dilaku-kan sampai ke Mahkamah Agung dan menghasilkan keputusan yang meme-nangkan para penggugat yaitu warga Kecamatan Kadunggora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Kasus kedua yaitu sengketa antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLKH sebagai penggugat melawan PT Kallista Alam sebagai tergugat. PT. Kallista Alam digugat atas tindakan pembakaran 1000 hektar lahan hutan di Rawa Tripa pada tahun 2012. Hasilnya, PT. Kallista Alam divonis bersalah dan diwajibkan untuk membayar ganti kerugian dan biaya pemulihan lahan. Vonis tersebut termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/ jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/ jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015 jo Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1PK/PDT/2015 tertanggal 18 April 2017. Seharusnya dengan vonis tersebut, PT. Kallista Alam melaksanakan eksekusi putusan, tetapi PT. Kallista Alam menggugat balik KLKH dengan gugatan perlawanan eksekusi ke Pengadilan Negeri Meulaboh. Pengadilan Negeri Meulaboh pada tanggal 12 April 2018 membenarkan gugatan PT. Kallista Alam dan membebaskan PT. Kallista Alam dari seluruh tuntutan hukum melalui Putusan Nomor 16/ KLKH mengajukan banding terhadap putusan tersebut, dan terhadapnya dalam putusan Nomor Perkara 80/PDT-LH/2018/PT. BNA, Pengadilan Tinggi Banda Aceh membatalkan putusan Nomor Perkara 16/ yang berarti PT. Kallista Alam tetap berkewajiban melaksanakan putusan dengan membayar ganti kerugian dan biaya pemulihan lahan. Kasus yang terakhir adalah perkara Sungailiat. Pengadilan Tinggi Bangka Belitung melalui putusannya No21/Pid/2021/PT BBL, membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat yang menghukum 6 Ketua RT yang menandatan-gani surat undangan sosialisasi rencana gugatan atas dampak bau PT BAA di Kab Bangka. Amar Putusan PT Bangka Belitung menyatakan Para Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi perbuatan para ter-dakwa bukanlah merupakan tindak pidana, melepaskan Para Terdakwa dari se- ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 85 luruh tuntutan, dan memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya. Tulisan ini berusaha menguraikan dua pokok permasalahan yaitu untuk menelusuri argumentasi yuridis yang menyebabkan putusan hakim berbeda-beda dalam perkara lingkungan Nomor 1794 K/Pdt/2004 Kasus Mandala-wangi, Nomor 16/ Mbo Kasus Kalista Alam, dan Nomor 21/Pid/2021/PT BBL Kasus Sungailiat; dan yang kedua, apakah ketidakkon-sisten hakim dalam putusan hakim dapat dimaknai sebagai pelemahan pene-gakan hukum lingkungan di Indonesia. Singkatnya, artikel ini bertujuan untuk memberikan pandangan hukum terhadap putusan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan maupun penemuan hukum. Metodologi Penelitian Artikel ini disusun menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan. Sumber informasi penelitian menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu putusan pengadilan, buku-buku hukum, artikel hukum, dan ketentuan peraturan perundangan-undangan terkait lingkungan hidup. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan analisis sub-stansi content analysis serta penarikan kesimpulan menggunakan deduksi untuk menjawab rumusan permasalahan. Hasil dan Pembahasan Dinamika Putusan Hakim dalam Perkara Lingkungan Nomor 1794 K/PDT/2004, Nomor 16/ dan Nomor 21/PID/ 2021/ Undang-Undang angka 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengel-olaan Lingkungan Hidup mendefinisikan perlindungan serta pengelolaan ling-kungan hayati sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup serta mencegah terjadinya pence-maran serta/atau kerusakan lingkungan hayati. Ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Pertama, perencanaan, inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, serta penyusunan rencana perlindungan serta pengelolaan lingkungan hayati RPPLH merupakan tahap-tahap yang wajib ditempuh dalam perencanaan proteksi dan pengelolaan lingkungan hayati. Kedua, pemanfaatan sumber daya alam yg dilakukan berdasarkan RPPLH, bila RPPLH belum ada maka pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yg berkelanjutan. Ketiga, pengendalian ter-hadap pencemaran serta/atau kerusakan lingkungan hayati dilakukan buat Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 86 mewujudkan pelestarian fungsi lingkungan hayati dengan pencegahan, penang-gulangan serta pemulihan. Keempat, pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan asal daya alam, serta/atau pelestarian fungsi atmosfer. Kelima, pengawasan menjadi keliru satu upaya preventif pengendalian akibat lingkungan yang tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat serta wilayah tetapi juga menuntut kiprah masyarakat. dan terakhir, penegakan hukum lingkungan hayati yang penyelesaian seng-ketanya mampu ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Salah satu tujuan primer proteksi serta pengelolaan lingkungan hayati ialah mencegah pen-cemaran atau perusakan lingkungan. Pencemaran serta perusakan lingkungan artinya dua hal yg tidak sama. Pencemaran lingkungan merupakan perubahan pada komponen tertentu sebab masuknya makhluk hidup, zat, tenaga dan/atau komponen lain sedangkan perusakan lingkungan adalah tindakan menyebabkan perubahan seluruh komponen lingkungan baik yg bersifat fisik, kimia dan/atau biologi. Terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hayati harus dil-akukan penegakan hukum supaya kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga. Penegakan aturan lingkungan merupakan upaya buat mencapai ketaatan ter-hadap peraturan serta persyaratan pada ketentuan hukum lingkungan yg berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan serta penerapan sanksi admin-istrasi, gugatan perdata, dan pidana. Penegakan hukum administrasi lingkungan bersifat preventif pengawasan serta represif sanksi administrasi dalam kerangka menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penegakan hukum lingkungan administrasi bisa diterapkan terhadap aktivitas yang melang-gar persyaratan perizinan dan peraturan perundang-undangan. selesainya pene-gakan hukum administrasi lingkungan ini tak berhasil maka upaya terakhirnya artinya penegakan hukum pidana lingkungan. Penegakan hukum lingkungan ini jua mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, serta keadilan. Kasus Mandalawangi dengan perkara Nomor 1794 K/PDT/2004 dilatar belakangi oleh kasus tanah longsor di area Hutan Mandalawangi, Garut yang dikelola oleh Perhutani. Pengaturan mengenai Perhutani sendiri diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978 jo. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 43/KPTS/ HUM/1978 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 yang berisi bahwa Perhutani merupakan perusahaan milik negara yang diberi Hak Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi di Wila-yah Jawa Barat. Wilayah pengelolaan yang menjadi lingkup Perhutani dalam mengatur kawasan hutan lindung termasuk kawasan Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut Pada tahun 1999 Perhutani melaku- D I Pengadilan, “Perkembangan Prinsip Strict Liability Dan Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Pengadilan,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 25, no. 3 2014 416–32, ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 87 kan perubahan pada lahan hutan Mandalawangi yang semula merupakan kawa-san hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi terbatas, perubahan atau alih fungsi tersebut telah disetujui ditandai dengan telah dikeluarkannya kepu-tusan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan No. 419/ yang intinya adalah merubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas serta memberi wewenang pengelolaannya kepada Perhutani sehingga terjadi longsor di area hutan Mandalawangi. Akibat adanya tanah longsor tersebut masyarakat disekitar wilayah hutan Mandalawangi merasa san-gat dirugikan karena perubahan lahan tersebut dan akhirnya mengajukan guga-tannya kepada Direksi Perum Perhutani sebagai Tergugat I, Gubernur Provinsi Jawa Barat sebagai Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV masing-masing adalah Presiden Republik Indonesia dan juga Menteri Kehutanan Indonesia. Pengajuan gugatan oleh masyarakat yang mengalami kerugian atas perubahan lahan tersebut diajukan menggunakan prosedur gugatan secara perwakilan ke-lompok atau class action. Masyarakat korban longsor sebagai Penggugat men-dasarkan gugatannya atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I atau Perhutani dengan melakukan tindakan perusakan terhadap ling-kungan hutan yang diatur pada Pasal 1 butir 14 Undang- Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Pasal 48 ayat 2 Un-dang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Alasan yang memberatkan dalam perkara ini karena Tergugat I telah menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan, sehingga menyebabkan luas hutan di Jawa Barat berkurang dari 20% menjadi 8%. Tergugat III yang mengubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi juga menyebabkan Tergugat I melakukan tindakan melanggar tujuan perusahaan yang melakukan penebangan tanpa reboisasi dan dibiarkan oleh Tergugat III. Selain itu, Kepala KPH Perhutani Garut juga menyatakan bahwa hutan yang seharusnya direboisasi justru disewakan kepada penduduk. Oleh karena itu, tindakan Penggugat I yang tidak melakukan reboisasi, menguubah hutan primer menjadi sekunder, menciptakan lahan kosong dan lahan garapan pertanian yang dimanfaatkan penduduk telah merubah fisik dan/atau fungsi hutan yang dikualifikasikan sebagai perusakan hutan. Hal ini mengakibatkan longsor di area hutan Mandalawangi dan menghancurkan pemukiman penduduk yang ternyata sudah diketahui oleh Tergugat I bahwa terdapat titik rawan longsor namun diabaikan yang menyebabkan korban jiwa dan harta benda. Sedangkan alasan yang meringankan bahwa Tergugat I telah membuat Rencana Umum Perusaha-an, Rencana Lima Tahunan Perusahaan, dan Rencana Kerja Tahunan Perusaha- Sapto Hermawan, Wida Astuti “Analysing several ASEAN countries' policy for combating marine plastic litter,” Environmental Law Review 23, No. 1 2021 9-22, Rizky Banyualam Permana, “Hukum Internasional Made In Garut? Mengkritisi Status Jus Cogens Atas Prinsip Kehati-Hatian Dalam Mandalawangi,” 2020. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 88 an yang ketiganya merupakan wujud pembinaan di bidang perencanaan. Tergugat I juga telah berupaya menjaga kelestarian hutan dengan membuat Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan untuk jangka 10 tahun, Rencana Teknik Tahunan, dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang di dalamnya memuat detail rencana pengelolaan Kawasan hutan. Penutupan hutan yang dilakukan oleh Tergugat I secara mendetail juga terbatas pada tanaman pinus kelompok umur II dan III, hutan alam kayu lain dan tidak produktif. Tergugat I juga sudah melaksanakan reboisasi hektar sedangkan terciptanya lahan kosong dilakukan oleh masyarakat perambah hutan yang menyebabkan kerusakan hutan. Terkait longsor disebabkan karena intensitas hujan yang tinggi di jenis tanah merah. Pengadilan Negeri Bandung telah mengeluarkan Putusan Nomor 49/ BDG dengan amar putusannya yaitu mengabulkan guga-tan masyarakat yang mengalami kerugian dengan prosedur perwakilan ke-lompok atau class action; menyatakan bahwa Direksi Perhutani sebagai Tergugat I, Menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai Tergugat III, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat sebagai Tergugat IV dan Pemerintah Daerah ting-kat II Garut sebagai Tergugat V, seluruhnya memiliki tanggung jawab mutlak strict liability terhadap dampak yang timbul dikarenakan adanya longsor yang terletak di kawasan Gunung Mandalawangi, Garut. Amar putusan tersebut juga menyebutkan bahwa menghukum para tergugat untuk melakukan perbaikan atas lingkungan dan melakukan pembayaran biaya perbaikan lingkungan hutan tersebut senilai Rp dua milyar rupiah; kemudian menghukum para tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada masyarakat yang menjadi korban longsor di wilayah Gunung Mandalawangi sebesar Rp sepuluh milyar rupiah dan menyatakan bahwa putusan atas kasus lingkungan hutan Mandalawangi dilaksanakan terlebih dahulu uitvoerbaar bejvooraad. Kasus kerusakan lingkungan yang kedua terkait dengan kasus PT. Kallista Nomor 16/ yang merupakan perusahaan yang mengel-olah sawit dan pembuatan minyak sawit yang banyak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Bahwa pada 25 Agustus 2011 PT. Kallista Alam mendapat surat izin tentang usaha perkebunan budidaya untuk menggerakan perkebunan kelapa sawit. Namun sebelum aktifisasi, pada bulan November 2011 penggolahan tanah tersebut terpaksa PT. Kallista Alam melakukan pengentian berdasarkan surat keputusan gubernur tentang pencabutan izin usaha perkebunan dikarenakan ketidaksesuaian titik koordinat objek dengan kenyataan sebenarnya error in objekto. Sesuai Pengadilan Negeri Meulaboh dalam putusan Nomor 12 / tertanggal 8 Januari 2014 jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/ Tanggal 15 Agustus 2014 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/ 2015 Tanggal 28 Agustus 2015 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2015 tangal 18 April 2017, posisi batas koordinatnya adalah 98º 32´ ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 89 21″ BT maka dapat terlihat secara jelas dimana objek gugatan dalam putusan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pada putusan pertama di Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan PT Kallista Alam terbukti bersalah dan wajib melaksanakan putusan. PT. Kallista Alam melaksanaan putusan yang inkracht kepada Pengadilan Negeri Meulaboh berdasarkan surat Nomor S-103/PSLH/ yang meminta eksekusi. Namun dalam Pengadilan Negeri Meulaboh menolak dan tidak men-dukung atas pelaksanaan atau eksekusi dari putusan Mahkamah Agung serta mengeluarkan surat Nomor 12/ yang berisikan menunda pelaksanaan eksekusi dari mahkamah agung hingga ada putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh PT. Kallista Alam. Hal ini jelas melang-gar hukum acara, bahwa peninjauan kembali tidak menundak eksekusi karena kasus ini merupakan upaya hukum terakhir, dan ironisnya terdapat pelanggaran hukum acara dilakukan oleh peradilan tersebut. Kemudian untuk kedua kalianya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan aanmaning terkait dengan surat Nomor 12/ Putusan Nomor 1 PK/PDT/2017 Mahkamah Agung menolak Penin-jauan Kembali PT. Kallista Alam dan menyatakan bersalah telah melanggar ketentuan dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh. Sehingga muncullah surat nomor 5793/DK-P/VI/2017 berkaitan dengan PT. Kallista Alam yang meminta Pelindungan terhadap Pengadilan Negeri Meulaboh. Dari hal tersebut, Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan putusan Nomor 16/ PN yang menyatakan putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban karena tidak memiliki titel eksekutorial. Alasan yang memberatkan PT. Kallista Alam adalah lokasi kebakaran sesuai dengan titik koordinat izin usaha yang dimiliki oleh PT. Kallista Alam, sehingga kerusakan yang ditimbulkan dari kebakaran lahan merupakan konsekuensi logis bahwa pencemar bertanggungjawab untuk mengganti rugi polluter must pay principle. Pembukaan lahan dengan pembakaran hutan jelas perbuatan melanggar hukum termasuk dampak yang ditimbulkan dari pembakaran hutan. Dalam kasus kerusakan lingkungan yang ketiga, yaitu Sungailiat, melibat-kan warga Kenangan, Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, yang terdiri dari Robandi, Muhammad Yusuf, Mulyadi, Yamsul Effendi, Heti Rukmana, dan Aditama, yang masing-masing merupakan mantan ketua Rukun Tetangga RT II, III, IV, V, VI dan VII. Kasus ini diawali dari penolakan keenam mantan Ketua RT tersebut terhadap bantuan yang diberikan berupa bantuan pangan dimana diberikan PT Bangka Asindo Agri BAA terhadap warga masyarakat yang berada di wilayah administrasi mereka, yang selanjutnya merembet ke hal Elsa Nastiti Dama Yanti, “Efektivitas Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Ka-sus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista Alam,” no. 32 1390 14–15. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 90 lain hingga keenamnya didak-wa telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam pasal 228 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, atas tindakan mereka karena telah bersama-sama telah sepakat dan menandatangani surat undangan yang isinya adalah sosialisasi mengenai rencana persetujuan terhadap pemberian kuasa kepada Advokat Zaidan dalam menggugat hukum PT Bangka Asindo Agri PT. BAA atas bau yang ditimbulkan dari produksi tepung tapioca, surat tertanggal 24 Mei 2020. Surat undangan sosialisasi ditandatangani oleh keenam orang tersebut dengan memposisikan diri seolah-olah masih sebagai Ketua RT dan menggunakan stempel RT II, RT III, RT IV, RT V, RT VI dan RT VII padahal pada saat itu mereka telah melakukan pengunduran diri sebagai Ketua RT melalui surat pengunduran diri masing-masing tertanggal 22 April 2020 yang ditanda tangani diatas materai. Melalui putusan pengadilan tingkat pertama yaitu Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat Nomor 475/ tanggal 6 April 2021. keenamnya dinyatakan telah terbukti melakukan suatu tindak pidana dimana kesemuanya bersama-sama dengan sengaja dan sadar telah memakai tanda kepangkatan atau melakukan suatu perbuatan yang didalamnya termasuk jabatan yang tidak dijabatnya atau yang ia sementara dihentikan daripadanya” dan dikenakan pidana penjara karenanya. Baik dari pihak terdakwa dan juga penuntut umum mengajukan permo-honan banding atas Putusan Nomor 475/ tersebut, dan permohonan banding secara formal diterima. Kemudian Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 21/PID/2021/PT. BBL menjatuhkan putusan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sungailiat Nomor 475/ 2020/PN Sgl tanggal 6 April 2021 sebelumnya. Dalam putusan banding terse-but juga menyatakan bahwa para terdakwa terbukti melakukan perbuatan se-bagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, namun perbuatan Para Ter-dakwa tersebut bukan atau tidak termasuk Tindak Pidana dan atas dasar tersebut semua terdakwa dilepaskan dari seluruh tuntutan Pidana. Alasan yang memberatkan dalam perkara ini bahwa terbukti menggunakan tanda kepangka-tan atau perbuatan yang termasuk dalam jabatannya secara Bersama-sama untuk melakukan, menyuruhlakukan dan turut serta melakukan hal yang merugikan masyarakat. Analisis terkait dengan perbedaan argumentasi yuridis dari ketiga putusan tersebut adalah dimana pada kasus Mandalawangi hakim dalam putusan kasus tersebut telah berani keluar dari aturan perundang-undangan yang dilakukan dengan melihat fakta-fakta dilapangan dengan memperluas konsep strict liability ini dengan tidak mendasarkan pada Pasal 35 UUPLH 1997 dengan mengklasifikasikan pengelolaan hutan lindung sebagai kegiatan yang berbahaya extra hazardous atau tidak lazim non natural use. Hakim mendasarkan pu-tusannya pada asas in dubio pro natura yang artinya bahwa apabila hakim men-galami keragu-raguan dalam memutuskan perkara maka hakim mengedepankan Scheffer, Precautionary and Preventions Principles,” 1996 ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 91 perlindungan lingkungan dalam putusannya. Asas tersebut merupakan turunan dari asas kehati-hatian atau precautionary principle dengan bentuk Analisa Mengenai Dampak Lingkungan yang dijelaskan didalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hakim sendiri dida-lam kasus ini telah berani untuk menemukan keadilan dengan keluar dari pera-turan perundang-undangan dan memposisikan dirinya sebagai penemu hukum atau istilah lainnya adalah rechts vinding. Pada putusan dimana hakim menyatakan Dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan, termasuk adanya perten-tangan pendapat yang saling mengecualikan, sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusa, maka pengadilan dalam kasus ini memilih dan juga berpedoman pada prinsip hokum lingkungan hidup atau yang dikenal sebagai precautionary principle, prinsip ke-15 yang terkandung dalam prinsip pembangunan berkelanjutan United Nation Conference on Environment and Development. Walaupun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi Indonesia sebagai anggota dalam konferensi tersebut, maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek. Hakim secara tidak langsung telah mengubah acuan hukum soft law dimana keputusan memperluas strict liability tersebut yang tidak sesuai dengan undang-undang di Indonesia dan mengubahnya menjadi hard law dan dapat digunakan menjadi acuan putusan pengadilan dengan mendasarkan kepada prinsip Deklarasi Rio tahun 1992 ke dalam putusan kasus Hutan Mandalawangi. Pada kasus PT. Kallista Alam dalam penegakan hukum perdata meng-hasilkan beberapa putusan yang berbeda-beda. Dalam gugatannya menjadi hal yang patut diapresiasi, Namun dalam permasalahannya gugatan ini tidak tereal-isasi dengan baik hanya menyentuh kerusakan lahan yang ditimbulkan dari kasus kerusakan hutan tersebut. Tindakan yang dilakukan Pengadilan Meulaboh dalam hal ini telah bertindak melampauai kewenangan dan tidak konsisten dalam memberikan keadilan. Dalam prinsip hukum yang berkaitan dengan prinsip kebebasan hakim yang memiliki kebebasan yang absolut dengan menyelesaikan perkara secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam proses pengambilan putusan tersebut. Dan ten-tunya dalam pertimbangan putusan hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi landasan hukum. Dengan demikian dalam pemutusan sengketa harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab yang besar sebab dari putusan hakim tersebut yang nantinya akan membawa dampak yang sangat jauh pada kehidupan orang lain. Penerapan prinsip hukum ini berbanding terbalik dalam putusan pengadi-lan Meulaboh, dan hakim tidak sepenuhnya menerapkan prinsip kebebasan da-lam kasus ini. Bahwa tindakan yang dilakukan oleh PT Kallista Alam seakan tidak mengindahkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup. Kerusakan dikare-nakan adanya pembukaan lahan dengan metode pembakaran yang berakibat Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 92 rusaknya lahan gambut dan lepasnya efek gas rumah kaca hingga kebakaran massif. Tetapi terkait dengan putusan PT. Kallista Alam hakim hanya condong ke pihak tersebut dan dinilai telah menggagalkan pelaksanaan eksekusi putusan sebelumnya dan memperlihatkan pada keperpihakan perusakan lingkungan. Bahwa Pengadilan Meulaboh tidak hanya sekali saja melakukan penundaan PT. Kallista Alam tetapi sebelumnya Pengadilan Meulaboh pun menyetujui terhadap penundaan pelaksanaan putusan dengan didasari alasan karena adanya upaya hukum luar biasa, padahal pengajuan peninjauan kembali tidak dapat menjadi alasan dalam penundaan eksekusi atau putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Lain halnya dengan kasus Mandalawangi dan Kallista Alam, dalam Kasus Sungailiat hakim pada pengadilan tingkat pertama mengesampingkan konsepsi mengenai Pejuang Lingkungan Hidup yang seharusnya dilindungi dari gugatan, Hakim menilai perbuatan para Terdakwa tidak sebagai pejuang lingkungan hidup. Namun dengan adanya upaya banding, Hakim tingkat banding mem-berikan argumentasi yuridis yang condong berpihak pada pejuang lingkungan hidup. Hakim menganggap bahwa “Partisipasi” dapat dimaknai sebagai unsur dari Pasal 66 Undang-undang No. 32 tahun 2009 apabila menilik pada Memorie Van Toelichting Undang-undang No. 32 tahun 2009 yang diartikan secara rinci bahwa dalam pengaturan Pasal 66 Undang-undang tahun 2009 tersebut adalah satu kesatuan bagian ketentuan tentang hak yang salah satunya dapat dil-aksanakan melalui “Partisipasi”, selanjutnya makna “Memperjuangkan” sendiri merupakan aktifitas yang mana perbuatannya dapat berbentuk Partisipasi, maka konstruksi pasal 66 Undang-undang tahun 2009 mengandung 2 dua unsur utama Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation Anti-SLAPP yaitu Partisipasi atau ekspresi dan Kepentingan Publik lingkungan. Dalam huruf B angka 4 SK KMA Nomor 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pe-doman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang didalamnya disebutkan dimana untuk memutuskan sebagaimana Pasal 66 Undang-undang No. 32 tahun 2009 bahwa gugatan Penggugat atau pelaporan terhadap tindak pidana dari Pemohon meruapakan SLAPP yang tentunya dapat dikemukakan baik dalam provisi, eksepsi atau dalam gugatan rekonvensi dan/atau pembelaan dan hal tersebut haruslah diputuskan terlebih dahulu dalam suatu putusan sela. Dalam putusannya Hakim banding memuat pertimbangan hukum mengenai konsepsi Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation Anti-SLAPP yang diatur dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 yang dihubungkan dengan Huruf B angka 4 SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberla-kuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, oleh sebab itu, tinda-kan Para Terdakwa dianggap sebagai tindakan partisipasi dalam suatu perjuang-an bagi lingkungan hidup yang terjamin bersih serta sehat, dimana tindakan tersebut tidaklah dapat digugat ataupun dilaporkan pihak Kepolisian sebagai-mana bunyi Pasal 66 Undang-undang tahun 2009 dimana unsur dari ANTI SLAPP tidaklah bisa dituntut baik secara Pidana ataupun Perdata. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 93 Perbedaan Putusan Hakim dan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia Mertokusumo menyatakan bahwa putusan hakim artinya suatu pern-yataan yang oleh hakim, menjadi pejabat yang diberi kewenangan yang diucap-kan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu kasus atau konkurensi antara para pihak. Sedangkan berdasarkan Mulyadi, putusan hakim adalah putusan yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan, di mana dibacakan terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat pada bentuk tertulis dengan tujuan me-nyelesaikan masalah. Asas-asas Putusan Hakim dijelaskan dalam pasal 1778 HIR, Pasal 189 Rbg dan pasal 19 yang ada pada Undang-Undang nomor 48 Ta-hun 2009 perihal kekuasaan kehakiman, diantaranya. Pertama, asas memuat da-sar alasan yang kentara serta rinci, menurut asas ini bahwa setiap puutusan yang dijatuhkan oleh hakim wajib sesuai pertimbangan yang kentara dan cukup sebab putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu mengkategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd insuffcient judge-ment. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan pasal tertentu peraturan perundang-undangan, aturan kebiasaan, yurisprudensi, atau doktrin hukum. kedua, wajib mengadili seluruh bagian guga-tan adalah putusan harus menilik dan mengadili setiap bagian gugatan yg di-ajukan secara menyeluruh tanpa terkecuali, tidak boleh hanya mempelajari seba-gian saja. Ketiga, tidak boleh mengabulkan melebihi yang diminta yang biasa diklaim ultra petitum partium yaitu bahwa putusan tidak boleh melebihi apa yang diminta pada gugatan. Keempat, diucapkan di muka umum yaitu putusan hakim dianggap sah bila diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Putusan hakim mengkategorikan menjadi putusan sela serta putusan akhir. Putusan sela ialah putusan yang bersifat ad interim yg diucapkan secara terpisah sebelum dijatuhkannya putusan akhir akan tetapu putusan sela ini hanya ditulis dalam berita acara persidangan tidak didesain dengan putusan tersendiri. dalam teori serta praktiknya, putusan sela mengkategorikan dalam beberapa macam putusan, diantaranya putusan preparatoir, putusan interloc-utoir, putusan incidenteel, serta putusan provisioneel. Sedangkan putusan akhir merupakan pernyataan hakim menjadi pejabat negara yang diberi kewenangan untuk diucapkan pada persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau me-nuntaskan masalah atau sengketa antara pihak yang berperkara serta diajukan Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogyakarta, Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan Prakter Pradilan, Mandar Maju, 2007, hal 127. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 94 pada pengadilan. Melandaskan pada sifat putusan terdapat putusan declaratoir, putusan constitutief, dan putusan condemnatoir. Sedangkan dicermati dari isi putusan ada putusan dalam aspek kehadiran para pihak putusan gugur, putusan verstek dan putusan contradictoir. Konsistensi putusan hakim memiliki makna adanya kesepahaman hakim dalam memandang suatu permasalahan hukum atau pertanyaan hukum. Konsistensi putusan sendiri dapat memberikan kepastian hukum dan juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan itu sendiri. Adanya ketidakkonsistenan hakim dalam mengeluarkan putusan bisa saja menjadi faktor pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Dalam pelaksanaannya pada kasus Mandalawangi hakim dapat dikatakan tidak konsisten dalam menge-luarkan putusan karena dalam penerapan Precautionary Principle dalam pertim-bangannya Majelis Hakim tingkat pertama mendasarkan putusannya pada prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konverensi Rio tanggal 12 Juni 1992, putusan tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum dikarenakan belum menjadi hukum positif di Indonesia, dan alasan tersebut dianggap kurang tepat apabila dijadikan jalan keluar untuk mengisi kekosongan hukum, dikarenakan sudah ada hukum positif yang mengatur masalah lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu UUPLH pada Pasal 3, 6, 14, 15, 34 dan 35 dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 43, 45, 48, 60 dan Hakim tetap pada pendiriannya dimana dalam pertimbangannya memberikan alasan bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat pula digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ”jus cogen” sehingga hakim sendiri beranggapan bahwa dirinya tidak salah dalam menerap-kan hukum dimana hakim sendiri mengadopsi dari ketentuan hukum Internasi-onal. Pertimbangan hakim tersebut sudah benar dalam menerapkan Precauti-onary Principle walaupun pada UU Nomor 23 Tahun 1997 belum dianut Precautionary Principle sebagaimana telah dianut UU Nomor 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan sendiri pada umumnya cukup banyak mendasar-kan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada hukum internasional dan hakim sendiri mendasarkan putusannya atas dasar keadilan bagi masyarakat korban longsor Mandalawangi tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa ketidakkonsisten hakim dalam putusan Mandalawangi ini tidak menjadi pelemahan penegakan hukum di Indonesia justru memberikan pandangan baru mengenai kasus Abdul Manan, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, Jakarta Kencana, hal 308 Loura Hardjaloka, “Ketepatan HAKIM DALAM Penerapan Precautionary Princi-ple sebagai „Ius Cogen ‟ dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accuracy of Im-plementing Precautionary Principle as „ Ius Cogen ‟ in the Case of” 5, no. 2 2012 134–53. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 95 hukum lingkungan di Indonesia dan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang terkena dampak dari kasus lingkungan tersebut. Kasus Mandalawangi ini menjadi kasus yang dapat dikatakan telah mem-beri dampak yang cukup penting dalam penanganan atau litigasi kasus ling-kungan di Indonesia. Kasus ini juga memberikan gambaran mengenai putusan hakim yang memberi keadilan substantif. Walaupun sebenarnya penerapan ius cogen dalam putusan hakim tersebut perlu dikaji ulang bahwasanya tidak ada argumen dari para pihak yang bersengketa dari tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi. Namun hakim tetap pada pandangannya dimana penerapan jus cogen penting dalam memutuskan kasus Mandalawangi itu sendiri yang mengedepankan unsur lingkungan dan mengadopsi hukum internasional kepada hukum nasional dimana lebih spesifik dalam mengatur klasifikasi pengelolaan hutan lindung. Namun, ketidakkonsistenan hakim dalam putusan juga dapat menjadi indikasi pelemahan penegakan hukum di Indonesia. Terkait dengan kasus PT. Kallista Alam berdasarkan berbagai pelaksanaan putusan perdata pada kenyatannya jauh dari kata efektif karena terjadi inkonsistensi putusan Pengadilan Negeri Meulaboh yang awalnya memutuskan perkara tersebut dengan menetapkan PT. Kallista Alam bersalah, namun pada akhirnya menge-luarkan putusan yang menyatakan untuk melindungi PT. Kallista Alam dari ber-bagai tuntutan dan memberi perlindungan hukum. Kemudian adanya ketidak-sewenangan dari Pengadilan Meulaboh yang menyatakan untuk tidak melak-sanakan putusan Mahkamah Agung sebelum adanya putusan Peninjauan Kem-bali sesuai dengan Pasal 66 ayat 2 UU MA menyatakan bahwa peninjuan kem-bali tidak menunda pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pertimbangan hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh memunculkan bahwa kekuasaan kehakiman hanya menjadi alat untuk mengesampingkan kepastian hukum yang sudah seharusnya menjadi tujuan dari penegakan hukum dan berbanding terbalik menjadi jauh dari tujuan penegakan hukum yaitu keadi-lan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Gugatan dari PT. Kallista Alam yang telah diterima oleh Pengadilan Negeri Meulaboh berkaitan dengan pembahasan error in objecto yang sebenarnya persolan tersebut tidak diambil kembali dikarenakan objek telah diperiksa dalam proses persidangan, dan segala upaya hukum telah dilakukan dan hakim setiap tingkat menerangkan PT. Kallista Alam terbukti memenuhi perbuatan melawan hukum. Adapun upaya hukum yang dilakukan dengan mengajukan penentangan eksekusi yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, bukan oleh PT. Kallista Alam. Berdasarkan dari Koalisi Anti Mafia Hutan telah menelaah 3 kejanggalan dalam penerapan hukum terkait kasus PT. Kallista Alam yaituPertama, Kallista Alam, “6 Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan Berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan ?,” no. 16 2018. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 96 Tercantum amar putusan poin 4 yang menerangkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1/PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017 tidak memiliki titel eksekuto-rial terhadap PT. Kallista Alam. Kedua. Majelis hakim keliru dalam menerapkan hukum. Dalam putusan No. 16/Pdt-G/2017/ hakim telah menggu-gurkan segala tanggung jawab PT. Kallista Alam yang membatalkan putusan Mahkamah Agung, pada dasarnya dalam pasal 195 HIR terkait upaya perlawa-nan suatu putusan wajib dilaksanakan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Ketiga, Majelis hakim telah keliru memahami objek perkara. Yaitu lokasi yang berada di luar Hak Guna Usaha, tetapi PT. Kallista Alam meminta agar terlepas dari tanggung jawab kerugian lingungan hidup di lokasi Hak Guna Usahanya Bahwa Majelis Hakim terdapat kekeliruan dalam putusan ini yang mengamini gugatan PT. Kallista Alam dengan tidak mendalami muatan putusan sebelumnya. Dalam putusan PN Meulaboh dapat diduga untuk menggagalkan pelaksanaan putusan sebelumnya, dan lebih berpihak terhadap perusakan lingkungan. Bahwa dalam Kasus Sungailiat perbedaan pendapat antara Hakim pada Tingkat Pertama dengan Hakim Tingkat Banding menunjukan adanya perkem-bangan hukum yang penting dalam pemaknaan Pejuang Lingkungan Hidup. Hakim tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya mengaitkan persoalan tersebut dengan Huruf B angka 4 SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, di-mana menyebutkan dimana dalam konteks penanganan perkara, maka seorang hakim dalam putusannya harus mempertimbangkan kemampuan hukuman yang dijatuhkan untuk memberikan efek jera, menguatkan mekanisme pengawasan untuk menjamin tidak berlanjutnya pelanggaran dan terlindunginya hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini juga sejalan dengan teori hukum responsif bahwa hukum harus kompeten, adil, dan harus memperdulikan keinginan publik dan memiliki komitmen dalam mencapai keadilan. Hukum merespon terhadap kebutuhan sosial dan penegakan hukum yang lebih responsif pada nilai yang hidup di masyarakat. Dalam hal ini masyarakat membutuhkan haknya untuk dilindungi atas lingkungan hidup yang sehat. Dalam putusannya Hakim banding mengangkat isu indikasi mengenai SLAPP yang terjadi dan menganggap bahwa terhadap perbuatan para Terdakwa merupakan bentuk partisipasi yang memperjuangkan tentang kepentingan ling-kungan hidup yang terjadi di wilayah mereka dan tepat dikatakan bahwa para Terdakwa merupakan pejuang lingkungan hidup. Dapat terlihat jelas bahwa hal ini menunjukan dukungan terhadap pejuang lingkungan hidup. Konsepsi perlin-dungan terhadap pejuang lingkungan hidup yang nampak dalam putusan ini Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Surat Keputusan Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.,” 2013. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 97 dapat diartikan sebagai perkembangan hukum yang penting, dimana dapat memberikan pengaruh pertimbangan terhadap kasus-kasus kerugian lingkungan yang dapat terjadi kedepannya. Tabel 1. Ringkasan Putusan Tindak Pidana yang Dilakukan Hutan Mandalangi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Alih fungsi hutan dan penebangan tanpa reboisasi yang menyebabkan longsor Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V bertanggung jawab secara mutlak strict liability atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan hutan Gunung Manda-lawangi serta menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi Kebun Kelapa Sawit, Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh Pembakaran hutan dan perusakan ling-kungan oleh PT. Kallista Alam Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/PDT/2015 Tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/2017 tang-gal 18 April 2017 yang berisikan tentang gugatan pembakaran hutan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya kepada PT. Kallista Alam, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/PDT/ 2017 tanggal 18 April 2017 tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap PT Kallista Alam Kabupaten Bangka, Propinsi Bangka Belitung Tindak pidana menyalahgunakan jabatan dan/ atau wewenang yang merugikan masyarakat Menyatakan terdakwa I. Robandi als Abah bin Rahim Alm, terdakwa II. Muhammad Yusuf als Yusuf bin Seman alm, terdakwa III. Mulyadi als Aak bin Abdul Latif, Terdakwa IV. Syamsul Effendi als Fendi bin Darwis, Terdakwa V. Heti Rukmana als Heti binti Maryadi, dan Terdakwa VI. Aditama als Adi bin Sanadi Agani Alm tersebut diatas terbukti melakukan perbuatan Indonesia Environmental dan Law Outlook, Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi, 2021. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 98 sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan Pertama maupun Kedua, akan tetapi perbuatan Para Terdakwa tersebut bukanlah merupakan Tindak Pidana Dari perbedaan berbagai putusan, maka penegakan hukum terkait prak-tiknya tidaklah sederhana. Sebab terkait proses pembuktiannya sangat berbelit-belit, dalam menyelesaikan suatu perkara dalam konteks lingkungan hidup tidaklah cukup hanya dengan mengimplementasikan suatu ketentuan-ketentuan hukum yang ada didalamnya, tetapi juga diperhatikan pentingnya judicial activism yang dilakukan dengan penemuan hukum dan penciptaan hukum dalam suatu putusannya yang bertujuan untuk melahirkan keadilan baik manusia dan ling-kungan agar terpeliharanya lingkungan yang terjamin. Dalam putusannya hakim tentunya wajib dan harus memahami suatu permohonan hak gugat yang mana telah diajukan oleh pihak-pihak bersangkutan, maka kepentingan tersebut tidak dalam bentuk ganti kerugian yang dialami korban saja namun juga harus meli-puti ganti kerugian untuk pemulihan lingkungan yang tercemar atau rusak akibat perbuatan pelaku. Masalah lingkungan dalam hukum pidana memberikan sedikit penawaran kepada masyarakat mengenai kerusakan yang dialami lingkungan dengan mem-berikan ancaman pidana pelaku pencemaran. Namun sekalipun adanya pemida-naan terhadap pelaku, kerusakan lingkungan pun sudah terjadi dan tidak akan pulih atau dalam putusannya pengadilan dapat mengharuskan pelaku memper-baiki kerusakan tetapi ada hakim yang masih mengindahkan ketentuan terkait memperbaiki lingkungan yang rusak tersebut dan condong kepada perusak ling-kungan. Sehingga dari putusan tersebutlah berpengaruh pada putusan yang ber-beda menimbulkan ketidakkonsistenan hakim. Dalam keberlangsungannya, dengan adanya ketidakkonsistenan putusan terhadap kasus-kasus kerugian lingkungan dapat dimaknai sebagai bentuk pelemahan hukum lingkungan di Indonesia, tetapi juga tidak menutup kemung-kinan ketidakkonsistenan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kepastian hukum yang diberikan lebih dari sekedar prosedur hukum yang ada, dan menan-dakan adanya perkembangan hukum yang dapat berpengaruh terhadap kepas-tian-kepastian hukum dalam kasus kerugian lingkungan selanjutnya. Prim Haryadi, “Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata di Indonesia,” Jurnal Konstitusi 14, no. 1 2017 129, ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 99 Kesimpulan Dilematika pengaturan di dalam hukum positif yang memberikan ruang kebebasan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan serta interpretasi indepen-densi hakim dalam kaitannya menyatakan perbedaan pendapat dissenting opinion pada sebuah putusan lingkungan hidup memang menjadi paradoks. Timbulnya ketidakkonsisten hakim dalam putusan lingkungan hidup dapat dimaknai se-bagai pelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia, namun juga dapat dimaknai sebagai pemberi pandangan baru dan kepastian hukum lingkungan di Indonesia. Pada kasus Mandalawangi hakim dapat dinilai tidak konsisten dalam penerapan putusan dengan tidak mendasarkan putusannya pada peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan di Indonesia, namun ketidakkon-sistenan tersebut memberikan kepastian hukum yang lebih dari sekedar prosedur hukum yang ada. Terkait kasus Kallista Alam ketidakkonsisten Hakim dimaknai sebagai pelemahan penegakan Hukum karena Pertimbangan putusan hakim memunculkan bahwa kekuasaan kehakiman hanya menjadi alat untuk mengesampingkan kepastian hukum yang sudah seharusnya menjadi tujuan dari penegakan hukum. Dalam putusan Sungailiat perbedaan argumentasi hakim mengenai konsepsi Pejuang Lingkungan Hidup menunjukkan adanya perkem-bangan hukum yang penting dalam pemaknaan konsep tersebut. Daftar Pustaka Alam, Kallista. “6 Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan?,” no. 16 2018. Anindita, Sri Laksmi, “Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Ling-kungan Hidup,” Jurnal Hukum Acara Perdata 3, No. 2 2017 331-350. Christiawan, Rio. “Penetapan Pengadilan Sebagai Bentuk Upaya Hukum Pada Proses Eksekusi.” Jurnal Yudisial 11, no. 3 2018 369. Dama Yanti, Elsa Nastiti. “Efektivitas Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Kasus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista Alam,” no. 32 1390 14–15. Deville, A and Applying the Precautionary Principle, 1997. Environmental, Indonesia, dan Law Outlook. Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi, 2021. Hamid, Muhammad Amin. “Hidup Dalam Menanggulangi” 6 88–117. Hardjaloka, Loura. “Ketepatan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Princi-ple sebagai „Ius Cogen ‟ dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accu-racy of Implementing Precautionary Principle as „ Ius Cogen ‟ in the Case of” 5, no. 2 2012 134–53. Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 100 Haryadi, Prim. “Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Perdata Di Indonesia.” Jurnal Konstitusi 14, no. 1 2017 129. Hermawan, Sapto., Wida Astuti, “Penggunaan Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut Indonesia,” Bina Hukum Lingkungan 5, No. 2 2021 237–261, Hermawan, Sapto., Wida Astuti “Analysing several ASEAN countries' policy for combating marine plastic litter,” Environmental Law Review 23, No. 1 2021 9-22, Imamulhadi, “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan,” Mimbar Hukum 25, No. 3 2013 417-432. Juanda, Sutiyanti. “Representasi Kerusakan Lingkungan Di Indonesia Dalam Puisi Media Daring Indonesia Kajian Ekokritik,” 3, no. 2 2016 98–107. Mahkamah Agung Republik Indonesia. “Surat Keputusan Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Pe-nanganan Perkara Lingkungan Hidup.,” 2013. Manan, Abdul, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadi-lan Agama, Jakarta Kencana. Mulyadi, Lilik Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan Prakter Pradilan, Mandar Maju, 2007. Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogya-karta. Scheffer. "The Precautionary and Preventions Principles," 1996. Nurdu, Arief. Hukum lingkungan Perundang-Undangan Serta Berbagai Masalah Dalam Penegakannya, 1999. Parlina, Nurasti, “Penerapan Class Action di Indonesia Studi Kasus Putusan Nomor 1794 K/PDT/2004,” Jurnal Poros Hukum Padjadjaran 2, No. 2 2021 237-252. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlin-dungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlin-dungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2009. Pengadilan, D I. “Perkembangan Prinsip Strict Liability Dan Precautionary Da-lam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Pengadilan.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 25, no. 3 2014 416–32. ADLIYA Jurnal Hukum dan Kemanusiaan Vol. 15, no. 2 September 2021, pp. 81-102, doi 101 Permana, Rizky Banyualam. “hukum internasional made in garut? Mengkritisi status jus cogens atas prinsip kehati-hatian dalam mandalawangi,” Volume 5, Nomor 1, Oktober 2020, DOI 2020. © 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution CC BY SA license Sri Wahyuni, Arum Nur R, Cheryl Permata Widya Chrisna Manika, Sapto Hermawan Konsistensi Putusan Hakim Terhadap Perkara Kerugian Lingkungan Hidup di Indonesia 102 [Halam ini sengaja dikosongkan] Muhammad Ainurrasyid Al FikriStrict liability in the context of companies in environmental damage refers to the legal principle which states that companies can be held fully responsible for environmental damage resulting from their operational activities, without having to prove the fault or negligence of the company. This means that the company can be held responsible for environmental damage caused, whether intentionally or unintentionally. This study used normative legal research, while the approaches used are combining statutory, a conceptual and a case approach. The development of strict liability in positive law in Indonesia has experienced development and refinement over time, indicated by the application made in several cases concerning environmental violations by several irresponsible parties. Basically, the implementation of strict liability really helps the aggrieved parties, especially the common people, in enforcing environmental laws in Indonesia. The principle of strict liability in environmental damage has a number of important implications. First, companies are required to take careful precautions in their operations to prevent environmental damage. They must follow strict environmental standards and implement suitable technologies to reduce their negative impact on the environment. Second, companies must pay compensation for environmental damage resulting from their operations, even if they are not to blame for the damage. The principle of strict liability eliminates the need to prove the company's fault or negligence, therefore that the company must be financially responsible for the environmental losses ParlinaAbstrak Gugatan perwakilan atau class action dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan di Indonesia mengalami tren positif pasca adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang kemudian disusul dengan adanya gugatan perwakilan sebagaimana Putusan Nomor 1794 K/Pdt/2004 yang merupakan preseden dalam hal penerapan gugatan perwakilan di Indonesia. Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana penerapan gugatan perwakilan yang diajukan oleh korban longsor Mandalawangi. Metode penelitian ini menggunakan yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus. Penulis kemudian menyimpulkan bahwa penerapan gugatan perwakilan dalam kasus ini sudah sesuai dengan peraturan yang ada dan telah diterapkan oleh Hakim dengan sangat baik. Kemudian salah satu manfaat dari adanya gugatan perwakilan dalam perkara ini adalah adanya kepastian atas ganti rugi yang akan didapatkan oleh korban longsor Mandalawangi. Hal ini menandakan bahwa gugatan perwakilan di Indonesia jika diterapkan secara benar akan memudahkan masyarakat yang mencari keadilan. Kata kunci Ganti rugi; Gugatan Perwakilan; Lingkungan Hidup. Abstract Class action in the settlement of environmental legal disputes in Indonesia has experienced a positive trend after the existence of PERMA of 2002 about class action procedure which was then followed by a representative lawsuit in Decision Number 1794 K / Pdt / 2004 which is a precedent in the application of a representative lawsuit in Indonesia. This paper is reviewing the application of the representative lawsuit filed by the Mandalawangi landslide victims. The research method uses normative juridical with a case study approach. The author then concluded that the application of the representative suit in this case was in accordance with the existing regulations and had been implemented by the Judge very well. Then one of the benefits of having a representative suit in this case is the certainty of compensation that will be collected by the victims of the Mandalawangi landslide. This indicates that the representative suit in Indonesia, if properly implemented, will make it easier for people seeking justice. Keywords Compensation; Environment; Representative ChristiawanABSTRAKPengadilan Negeri Meulaboh melalui Putusan Nomor 12/ jo. Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 50/Pdt/2014/ jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015, menghukum PT KA untuk membayar ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sebagai akibat dari kebakaran hutan. Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017 yang dimohonkan PT KA juga menolak permohonan peninjauan kembali PT KA. Ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan perintah eksekusi, justru Pengadilan Negeri Meulaboh menerbitkan Penetapan Nomor 1/Pen/Pdt/Eks/2017/ yang menunda eksekusi dan memberikan perlindungan hukum kepada PT KA, dengan alasan PT KA sedang mengajukan gugatan baru kepada pemerintah. Permasalahan dalam penelitian ini apakah Penetapan Nomor 1 Pen/Pdt/Eks/2017/ dapat menunda putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pengambilan data secara kepustakaan dengan cara berpikir deduktif dalam melakukan verifikasi data. Bagian pembahasan penelitian ini akan diuraikan bahwa penetapan dalam kasus PT KA ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam peradilan dan dikhawatirkan akan menjadi preseden baru yang kontraproduktif dalam penegakan hukum dan dapat disimpulkan bahwa penetapan tersebut melanggar prinsip hukum kunci penetapan, eksekusi, preseden baru. ABSTRACTMeulaboh District Court through its Decision Number 12/ in conjunction with Decision of the Banda Aceh District Court Number 50/Pdt/2014/ in conjunction with Supreme Court Decision Number 651 K/Pdt/2015, sentenced PT KA to pay compensation for environmental damage due to forest fires. PT KA filed an extraordinary request for review which was then rejected through Court Decision Number 1 PK/Pdt/2017. By the time the Ministry of Environment and Forestry filed a writ of execution, the District Court of Meulaboh issued the Injuction Number 1/Pen/Pdt/Eks/2017/ which ordered postponement of the execution and granted a legal protection to PT KA with the legal basis that PT KA was filing a new claim against the government. The main problem is whether the Injunction of Court Number 1/Pen/Pdt/Eks/2017/ can delay a court decision that has a permanent legal force. This research is conducted through normative juridical method based on literature sources by means of deductive reasoning in data verifying. The discussion in this research shows and explains that the injunction in the case of PT KA will cause legal uncertainty in judicial proceeding and is feared to create a new precedent that is counterproductive in law enforcement. The research concludes that the injunction has violated the main principle of procedural injunction, execution, new HaryadiDalam penegakan lingkungan hidup melalui pendekatan hak gugat perdata maka pihak penggugat tidak hanya menderita kerugian materiil akan tetapi dapat pula dirugikan atas rusaknya lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya. Pada beberapa putusan perdata di bidang lingkungan hidup ditemukan adanya putusan yang merupakan hal yang baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Dalam hal hak gugat, Pengadilan Negeri Samarinda telah mengakomodir hak gugat warga negara yang dikenal juga dengan citizen lawsuit action popularis. Apabila gugatan diajukan oleh pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK maka perkembangannya mengarah pada pro natura yaitu sistem pembuktian yang menerapkan konsep strict liability sehingga KLHK sebagai penggugat tidak perlu lagi membuktikan tentang adanya kesalahan tergugat. Namun demikian tidak seluruh putusan tersebut diikuti dengan hukuman untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak dan/atau tercemar, seperti Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Putusan tersebut belum sejalan dengan ketentuan Pasal 54 UUPPLH yang mewajibkan kepada setiap pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Putusan-putusan pengadilan tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup belum memahami dan mengusai perhitungan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu hakim dalam menangani perkara-perkara perdata lingkungan hidup tidak cukup dengan menerapkan ketentuan hukum yang telah ada, namun juga memerlukan suatu judicial activism sebagai upaya untuk mengembangkan hukum lingkungan hidup di Indonesia. In the environmental enforcement approach civil right to sue the plaintiff not only suffered material losses but can also be harmed by the destruction of the environment in the vicinity of his residence. In some civil verdict in the environmental field found any decision which is a new thing in the development of environmental law in Indonesia. In the case of right to sue, Samarinda District Court has accommodated right to sue a citizen also known as citizen lawsuit action popularis. If the lawsuit filed by the government through the Ministry of Environment and Forestry KLHK then leads to the development of pro natura namely authentication system, which applies the concept of strict liability so KLHK as plaintiffs no longer need to prove the defendant’s guilt. However, not all the decision followed by the penalty to restore the environment that has been damaged and/or contaminated, such as the Tanjung Pinang District Court and District Court of North Jakarta. The verdict is not in line with the provisions of Article 54 UUPPLH which requires that every polluter and/or wrecking the environment for the restoration of the environment. Court decisions indicate that judges in examining and deciding environmental cases not yet understand and master the calculation of recovery costs due to environmental pollution and/or destruction of the environment. Hence judges in handling cases of environmental-civil case is not sufficient to apply the provisions of the existing law, but also requires a judicial activism in an effort to develop environmental law in Indonesia. Sapto HermawanWida AstutiThe recent 34th ASEAN Summit, held in Thailand in June 2019, issued two important documents related to the marine environment’s protection, namely The Bangkok Declaration on Combating Marine Debris in the ASEAN Region and the ASEAN Framework of Action on Marine Debris Framework of Action. Therefore, this research analyses the several policies implemented by ASEAN countries to reduce marine plastic litter. This is primarily assessed using several indicators by Konisky and Woods, namely 1 programmatic indicators of state environmental policy activism, which is usually incorporated into an index reflecting the quality of the national ecological system, 2 the amount of money spent by the state government on environmental protection, 3 the number of private-sector expenditure on environmental pollution reduction, also used as a proxy for the stringency of state environmental regulation and 4 counts of state environmental regulatory enforcement actions. This research showed that ASEAN countries consider that the process used in handling marine plastic litter needs to be resolved collaboratively and comprehensively. Therefore, each country already has programmatic indices and regulatory actions with the majority relatively weak on other indicators, primarily on government expenditures, enforcement programs and pollution abatement Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan?Kallista AlamAlam, Kallista. "6 Mei 2018 Berita buruk bagi lingkungan berkomplotnya mafia peradilan dengan korporasi perusak hutan?," no. 16 2018.Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan HidupSri AninditaLaksmiAnindita, Sri Laksmi, "Perkembangan Ganti Kerugian dalam Sengketa Lingkungan Hidup," Jurnal Hukum Acara Perdata 3, No. 2 2017 Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Kasus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista AlamDama YantiElsa NastitiDama Yanti, Elsa Nastiti. "Efektivitas Putusan Pengadilan Pidana dan Perdata Kasus Pembakaran Lahan Studi Kasus Pembakaran Lahan Berkelanjutan oleh PT. Kallista Alam," no. 32 1390 the Precautionary PrincipleA DevilleR HardingDeville, A and Applying the Precautionary Principle, 1997. Environmental, Indonesia, dan Law Outlook. Proyeksi Keberlanjutan Lingkungan Hidup di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi, Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai "Ius Cogen " dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accuracy of Implementing Precautionary Principle as " Ius Cogen " in the Case ofLoura HardjalokaHardjaloka, Loura. "Ketepatan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai "Ius Cogen " dalam Kasus Gunung Mandalawangi The Accuracy of Implementing Precautionary Principle as " Ius Cogen " in the Case of" 5, no. 2 2012 Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut IndonesiaSapto HermawanAstuti WidaHermawan, Sapto., Wida Astuti, "Penggunaan Penta Helix Model Sebagai Upaya Integratif Memerangi Sampah Plastik di Laut Indonesia," Bina Hukum Lingkungan 5, No. 2 2021 237-261,